Hingga saat ini, timbulan sampah masih menjadi masalah akibat buruknya pengelolaan. Dengan nilai ekonomi di atas Rp 150 triliun setahun, timbulan sampah sesungguhnya merupakan sumber pendapatan jika dikelola dengan baik. Karena itu, pemerintah diimbau melibatkan pelaku usaha, kaum milenial yang memiliki entrepreneurship, dan masyarakat. Selain sebagai sumber pendapatan, pengelolaan sampah secara profesional adalah langkah nyata Indonesia dalam menurunkan emisi karbon, mewujudkan ekonomi hijau, dan mengimplementasikan
environmental, social, and governance (GCG).
Pemerintah di berbagai daerah mengelola Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST). Pemprov DKI, misalnya, mengelola TPSP Bantargebang. Tapi, semua TPSP, termasuk Bantargebang, menampilkan pemandangan buruk dan menyebarkan bau menyengat. Dengan nilai ekonomi sampah yang sangat besar dan kewajiban setiap negara untuk mencegah kenaikan suhu bumi hingga 1,5 derajad Celcius, pemerintah pusat hingga daerah perlu secara besama-sama mengambil langkah konkret. Selain dukungan dari pemerintah, efektivitas dan kesuksesan pengelolaan sampah juga sangat ditentukan oleh pemahaman masyarakat maupun petugas kebersihan tentang perlunya pemilahan sejak awal sesuai kategori. Pasalnya, makin lama pemilahan dilakukan dan berbagai macam kotegori sampah itu bercampur, akan makin turun nilai ekonomi sampah saat dikelola. Untuk itu edukasi dan insentif terhadap masyarakat dan petugas perlu dilakukan dan diberikan. Demikian benang merah pendapat yang dihimpun Investor Daily dari sejumlah sumber, baik dari kalangan pelaku maupun regulator, pada kesempatan terpisah. Mereka adalah Co-founder dan Chief Executive Officer Moretrash Donni Renaldy, CEO PT Maharaksa Biru Energi Tbk Bobby Gafur Umar, Wakil Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (IDUPI) Justin Wiganda, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, serta Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati. Donni Renaldy menyebutkan, hampir semua kategori sampah dari organik, anorganik/kertas, hingga sampah residu dapat diolah dan menghasilkan uang. Bahkan, nilai ekonomi keseluruhan sampah di Tanah Air bila ditotal bisa mencapai lebih dari Rp 150 triliun per tahun. “Dari keseluruhan jenis satu kategori sampah, memang plastik yang nilai ekonominya paling tinggi. Tapi, kalau dikelola secara bijak, semunya bisa menjadi uang, termasuk air lindih dari sampah,” ujar Donni kepada Investor Daily, Jumat (27/10/2023).
Menurut dia, di wialayah Jadebotabek, kontribusi sampah plastik mencapai sekitar 30% dari keseluruhan timbulan sampah tahun 2022. Sedangkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, kontribusi sampah plastik mencapai 18,5% dari keseluruhan sampah nasional yang tahun lalu mencapai 44,2 juta ton. Selama ini sampah plastik diolah oleh perusahaan pengelola sampah seperti Moretrash menjadi bijih plastik yang kemudian diserap oleh industri pengolah sampah plastik. Dari kebutuhan industri terhadap bijih plastik yang menurut Kementerrian Perindustrian nilainya mencapai Rp 62 triliun per tahun, selama ini yang bisa dipenuhi oleh pengelola sampah plastik hanya 7%-nya atau senilai Rp 4,34 triliun. Sisanya dipenuhun melalui impor yang berarti memakan devisa negara. “Padahal, kalau dikelola dengan baik, sampah yang ada bisa untuk memenui permintaan industri,” ucap Donni. Sementara terhadap sampah organik yang terutama dari sampah sisa makanan (food waste), menurut Donni, selama ini Moretrash mengolahnya untuk menghasilkan maggot atau semacam belatung. Maggot ini diyakini sebagai pakan ternak yang memiliki nilai protein sangat tinggi sehingga baik untuk kembang biak ternak. “Peluang bisnis maggot ini juga sangat tinggi, nilainya hampir sama dengan plastik (Rp 62 juta). Kami bahkan sampai kewalahan untuk memenuhi permintaan. Hargaper kilo basah Rp 5 ribu, sedangkan kering Rp 15 ribu,” papar dia. Sedangkan untuk sampah kertas, lanjut Donni, potensi nilai ekonomi berdasarkan permintaan industri secara nasional mencapai sekitar Rp 30-37 triliun. Dari total nilai tersebut, yang bisa dipenuni oleh pengelola sampah baru sekitar 50%-nya atau senilai Rp 15-18,5 triliun. “Terhadap sampah residu seperti baterai kami pun bisa mengolahnya untuk mengahsilkan briket dengan nilia kalori lebih tinggi dari batu bara,” ungkap dia. Sementara itu, menanggapi masih tingginya volume sampah yang dibuang di TPST Bantargebang meski sudah melibatkan swasta, ia berpendapat, itu terjadi karena keterlibatan dan kerja sama swasta yang tidak dibarengi dengan riset yang mencukupi. “Swasta sebenarnya sudah banyak yang terlibat. Masalahnya itu dilakukan tidak berdasarkan hasil riset yang menyelesaian masalah atau tidak menggunakan teknologi yang tepat guna, baik di hulu maupun hilir,” kata Donni. Untuk mendukung pengelolaan sampah yang paripurna dan menghindari tumpukan sampah hingga menggunung di TPST, ia menyarankan agar didirikan tempat pengelolaan sampah seperti Moretrash hingga tingkat kelurahan atau paling tidak tingkat kecamatan di seluruh Indonesia. Selanjutnya, tempat pengelolaan sampah itu mendapat dukungan tiga hal dari pemerintah.
Ketiganya adalah pertama, keterjaminan pasokan sampah melalui armada-armada pengangkut sampah milik pemerintah. Kedua, lahan atau tempat pengelolaan yang memadai dengan status pinjaman, terutama yang berada diperkotaan. Ketiga, dukunganan pendanaan. “Tapi untuk yang ketiga ini, banyak pihak yang mau mendukung asal ada jaminan supply sampah,” papar dia. Bila dukungan itu diberikan, Donni memastikan, akan banyak milenial yang ingin terlihat dalam pengelolaan sampah ini. “Kaum milenial ini paling concern terhadap yang berkaitan dengan lingkungan. Itu akan dilakukan melalui kolaborasi sebagai gaya utama mereka serta dengan memanfaatkan teknologi seperti yang dilakukan Moretrash,” tutur dia. Moretrash senderi dibangun solusi pengelolaan sampah satu pintu yang hadir dalam aplikasi mobile IoS dan Android yang fokus kepada ekonomi dan lingkungan. Melalui aplikasi ini, masyarakat dan mitra penjemput sampah serta pengumpul sampah dan pengelola sampah dihubungkan. Moretrash juga melayani berbagai industri mulai dari level rumah tangga, perkantoran, sampai pabrik.
Donni menyakini, upaya pengelolaan sampah yang profesional tidak hanya akan mengampanyekan secara masif untuk aksi reduce, reuse, dan recycle, tapi juga mendorong replace, dan replant dalam pengelolaan sampah secara nasional. Selain itu, pengelolaan sampah ini juga bisa menyerap banyak tenaga kerja, terutama dari lingkungan sekitar. “Kami pun memberi stimulus dengan membeli sampah Rp 2-5 ribu sampah plastik per kilogram,” pungkas dia
Melihat Opportunity
Wakil Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (IDUPI) Justin Wiganda mengatakan, saat ini ada ribuan usaha yang terkait dengan daur ulang plastik. “Industri daur ulang ini ada karena melihat opportunity, karena ada value added-nya. Industri ini sudah ada sejak tahun 1980-an, tapi kami hanya bisa mendaur ulang apa yang kami dapat, dan untuk sekarang yang menjadi ujung tombaknya adalah pemulung yang mampu menyediakan bahan baku untuk kami,” ungkap dia. Pemerintah bisa memanfaatkan industri daur ulang ini menjadi salah satu bagian penting untuk mengatasi permasalahan sampah di Indonesia. Tentunya, dengan memberikan akses seluas-luasnya agar industri ini bisa berkembang, sehingga bisa menyerap sampah plastik lebih banyak. “Salah satunya adalah dengan memperbesar akses suplai, sehingga kami bisa mengubah dari sampah plastik menjadi bahan baku daur ulang. Artinya, pemerintah harus menggalakkan sosialisasi yang masif tentang pemisahan sampah di tingkat awal. Selain itu, pemerintah juga harus mempermudah regulasi agar orang-orang lebih mudah masuk ke industri ini, misalnya terkait perizinan, perpajakan, dan lainnya,” ujar dia. Menurut Justin, dalam mengatasi permasalahan sampah, ada empat faktor mendasar yang harus dilakukan, yakni collection, segregation, supply, dan demand. “Kalau itu bisa dijalankan, masalah ini akan bisa dikelola dengan baik,” tutur dia. Justin juga menekankan pentingnya edukasi, tidak hanya kepada masyarakat, tetapi juga petugas pengelolaan sampah. “Selama ini, meski sudah disediakan tempat sampah sesuai kategorinya, pengambilan sampah oleh petugas masih dijadikan satu untuk selanjutnya dibawa ke TPA (TPST). Artinya, edukasi itu sangat penting. Infrastruktur penjunjang juga tidak kalah penting,” tegas dia.
Teknologi Modern
Sedangkan CEO PT Maharaksa Biru Energi Tbk Bobby Gafur Umar mengatakan, setiap tahunnya Indonesia menghasilkan sampah lebih dari 60 juta ton, dan per hari bisa mencapai 175 ribu ton dengan komposisi sekitar 65% sampah organik, dan sisanya sampah anorganik. Dari sampah anorganik tersebut, sekitar 15% berupa sampah plastik. “Kalau di negara-negara maju, mereka sudah dari dulu memiliki sistem pengelolaan sampah yang terstruktur dari sejak sampah rumah tangga hingga pengolahan akhir, dengan memanfaatkan teknologi modern. Sementara untuk di kita sepertinya masih cukup sulit,” ujar dia. Dia mencontohkan, Jakarta yang setiap harinya bisa menghasilkan sampah hingga 780 ribu ton, dan kalau hanya mengandalkan daur ulang plastik dan dipilah-pilah, akan sulit untuk menanggulangi penumpukan sampah. “Jadi untuk menyelesaikan permasalahan sampah, paling mudah adalah dengan waste energy, yaitu sampah dibakar untuk menghasilkan energi yang bisa dimanfaatkan, yaitu energi listrik. Tapi tentunya harus mengikuti standar emisi karbon global, yaitu harus rendah emisi karbon dan masuk dalam nilai keekonomiannya bagi investor,” jelas dia. Begitu investor mendapat sertifikasi karbon, kata Bobby, mereka juga bisa mendapatkan dukungan pendanaan murah dalam waste energy ini. “Karena kalau untuk mendapatkan pendanaan komersial, pasti tidak feseable,” ujar dia. Menurut Bobby, konsep circular energy sudah berjalan saat ini. Seperti misalnya pemulung yang memilah-milah plastik high grade, dan diserahkan ke pengumpul, untuk selanjutnya diolah oleh industri daur ulang . “Ini ada juga startup-startup baru, anak-anak muda yang memakai pola baru yaitu pengumpulan sampah melalui bank sampah, yaitu menukar sampah dengan poin atau minyak goreng atau barang lainnya. Ini suatu gerakan bagus yang melibatkan circular economy tadi, meski secara volume memang perlu waktu,” ujar dia. Bobby menilai, mekanisme pengelolaan sampah seperti di negara-negara maju masih relatif sulit untuk diterapkan di Indonesia. “Di Indonesia masih panjang perjalanan untuk dipisah-pisahkan, jadi yang paling gampang adalah sistem persampahan di kota-kota harus dikelola dengan baik, yaitu mulai dari rumah sampai dengan tempat pembakaran. Tetapi semuanya harus dikelola secara green, hingga bahan bakar energi untuk truk pengangkut sampahnya juga seharusnya green. Jadi dari collecting sampai pengangkutan semuanya harus green,” ujar dia. Peta Jalan Sementar itu, Direktur Jenderal PSLB Kementerian LHK Rosa Vivien Ratnawati menegaskan, KLHK terus mengupayakan pengurangan sampah plastik. Untuk itu sudah ada regulasi untuk memastikannya yaitu UU Nomor 18/ 2008 tentang Pengelolaan Sampah pada pasal 15 sudah diamanatkan bahwa produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. Ini lebih lanjut secara teknis diatur dalam Permen LHK P.75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. “Secara rinci diatur melalui Permen LHK P.75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah, melalui Peraturan Menteri ini, Produsen pada sektor Manufaktur, Ritel dan Jasa Makanan dan Minuman wajib melakukan pengurangan sampah yang berasal dari Produk, Wadah dan/atau Kemasan melalui pendekatan 3R (reduce, reuse, dan recycle),” ujar Rosa Vivien dalam keterangan persnya yang diterima Investor Daily, di Jumat (27/1). Menurut Rosa Vivien, cara yang dilakukan melalui peta jalan pengurangan sampah yaitu pertama, melakukan re-design wadah/kemasannya agar mudah dikumpulkan untuk diguna ulang, mudah dikumpulkan, bernilai ekonomis dan dapat di daur ulang menjadi bahan baku kemasan yang sama sebagai upaya menerapkan ekonomi sirkuler, dan menjual produk/jasa tanpa kemasan/wadah serta phase out produk/kemasan bermasalah.
Adapun langkah kedua, menarik dan mengumpulkan kembali sampah kemasan pascakonsumsi untuk didaur ulang. Ketiga, menarik dan mengumpulkan kembali kemasan guna ulang untuk dimanfaatkan lagi. Melalui peraturan ini, produsen wajib Menyusun Dokumen Perencanaan Pengurangan Sampah Kemasannya, dimana implementasinya dilakukan secara bertahap, diharapkan pada tahun 2029 produsen dapat mengurangi sampah wadah/kemasannya sebesar 30% sehingga hal ini dapat mendorong tumbuhnya bisnis berkelanjutan dan ekonomi sirkuler di Indonesia. Melalui Peraturan Menteri ini pada akhir tahun 2029 beberapa jenis plastik sekali pakai akan di phase–out (misalnya, Styrofoam untuk kemasan makanan, alat makan plastik sekali makan, sedotan plastic, kantong belanja plastik, kemasan multilayer, kemasan berukuran kecil, dll). Hal ini sebagai upaya mengatasi sampah dari wadah/kemasan yang sulit dikumpulkan, tidak bernilai ekonomis dan sulit didaur ulang, serta menghindari potensi cemaran dari wadah/ kemasan berbahan PVC dan PS. Berbicara persoalan sampah plastik, lanjut Vivien, maka pergeseran pola hidup atau life style dan pola konsumsi masyarakat Indonesia khususnya dalam penggunaan plastik sekali pakai berandil besar terhadap kondisi tersebut. Pada tahun 2015, terdapat 9,85 miliar lembar sampah kantong plastik dihasilkan dan hampir 95% berakhir di TPA (TPST). Sementara itu, 93 juta batang sedotan plastik dipakai setiap hari di Indonesia berakhir menjadi sampah tak terkelola hal ini belum termasuk sampah yang dihasilkan dari penggunaan kemasan plastik lainnya seperti kemasan sachet dan styrofoam yang tanpa disadari, kondisi ini telah berdampak tidak hanya terhadap penuhnya TPA (TPST) tetapi juga telah mencemari lautan di Indonesia. (dho)