Kalangan pebisnis energi terbarukan berbasis biomassa mengingatkan pentingnya menjaga keberlangsungan pasokan bahan baku. Keberlanjutan pasokan bahan baku biomassa menjadi tantangan paling besar dalam pengembangan usaha biomassa.
Re-planting atau penanaman kembali tanaman-tanaman biomassa menjadi bagian strategis yang sungguh tak boleh dilupakan. Apalagi, kebutuhan biomassa sebagai sumber energi bersih dipastikan samakin besar.
Selain itu, mereka juga mendesak pemerintah untuk segera merumuskan dan menerbitkan regulasi pemanfaatan biomassa sebagai salah satu sumber energi. Secara khusus, regulasi itu diharapkan bisa menjadi instrumen yang mampu menjawab tantangan pengembangan biomassa di dalam negeri. Sebab banyak yang tak menyadari bahwa biomassa adalah cara cerdas dan langkah yang jitu untuk mewujudkan ekonomi hijau.
“Indonesia ini kaya raya dengan aneka tanaman biomassa. Tapi, jangan lupa juga, kita harus menjaga suplai biomassa agar senantiasa sustain. Apalagi, kebutuhannya semakin besar,” kata Bobby Gafur Umar, Direktur Utama PT Maharaksa Biru Energi Tbk (OASA), di Jakarta, kemarin.
Maharaksa Biru Energi adalah salah satu entitas bisnis yang aktif mengembangkan energi terbarukan, dengan memanfaatkan biomassa sebagai sumber utama.
Namun, menurut Bobby, hingga kini pemanfaatan biomassa di Indonesia masih tergolong sangat rendah. Padahal, Indonesia terkenal kaya raya dengan aneka macam tanaman dan tumbuhan yang sangat mudah untuk dikelola dan diolah sebagai biomassa.
Bobby yang juga Ketua I Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mengingatkan, transisi energi menuju net zero emission terdiri atas dua aspek penting. Pertama, memanfaatkan energi terbarukan atau sumber energi lain dengan emisi minimum untuk memenuhi kebutuhan energi final di semua sektor (diversifikasi). Kedua, mengurangi emisi dari fasilitas atau plant yang sudah ada yang menghasilkan emisi tinggi selama operasi (dekarbonisasi).
Menurutnya, bioenergi merupakan bentuk energi yang inklusif, dihasilkan dari biomassa yang bisa dengan mudah dikontrol, dikurangi, atau disesuaikan oleh manusia.
Seperti diketahui, sumber biomassa berasal dari limbah pertanian, perkebunan, dan kehutanan, pengembangan dan pemanfaatannya melibatkan berbagai kelompok masyarakat dengan latar belakang yang beragam. “Namun, saat ini, hanya sedikit sekali dari total kapasitas pembangkit nasional yang diwakili oleh bioenergi,” tuturnya.
Dia pun menilai, hal tersebut mengindikasikan bahwa masih ada hambatan dalam pengembangan sumber energi ini, terutama dalam hal suplai biomassa jangka panjang dan faktor harga pembelian listrik IPP oleh PT PLN (Persero).
Padahal, menurut Bobby, Indonesia memiliki potensi biomassa sangat besar; dari hutan tanaman energi sekitar 991 ribu ton, serbuk gergaji 2,4 juta ton, serpihan kayu 789 ribu ton, sekam padi 10 juta ton, tandan buah kosong 47,1 juta ton, dan sampah rumah tangga 68,5 juta ton.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi biomassa di Indonesia diperkirakan mencapai sedikitnya 146 juta ton per tahun. Potensi ini meliputi berbagai jenis limbah pertanian, seperti jerami padi, sekam padi, limbah kayu, dan limbah kelapa sawit.
Selain itu, Indonesia juga memiliki potensi biomassa dari limbah masyarakat dan industri. Limbah masyarakat, seperti sampah organik, dapat diubah menjadi biogas atau pupuk organik. Sedangkan limbah industri, seperti limbah kayu dari pabrik pengolahan kayu, dapat digunakan sebagai bahan bakar biomassa.
Belum lama ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga mengklaim Indonesia memiliki potensi bioenergi bersumber dari biomassa yang sangat besar, setara dengan 56,97 Gigawatt (GW) listrik.
Pentingnya Peran Petani
Bobby mengingatkan, tantangan terbesar dalam implementasi co-firing biomassa di pembangkit-pembangkit batu bara milik PLN di Indonesia adalah upaya untuk menjaga keberlanjutan pasokan bahan baku biomassa, yang tentunya tetap mempertimbangkan aspek keekonomian.
“Diharapkan upaya-upaya ini terus dilanjutkan di setiap titik lokasi PLTU di Indonesia, sehingga nantinya akan tercipta pasar demand-supply yang semakin besar dan keekonomian serta economics of scale yang semakin baik,” kata Bobby.
Ia berharap, pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM melalui Ditjen EBTKE akan terus mengawal dan terus memfasilitasi upaya-upaya penyediaan bahan baku biomassa di sisi hulu serta menjaga agar implementasinya tidak terkendala.
“Sekali lagi, kita perlu melibatkan petani secara penuh. Re-planting atau penanaman kembali tanaman-tanaman kehutanan, perkebunan dan pertanian menjadi kunci keberhasilan usaha pengambangan biomassa,” jelasnya.
Dia menambahkan, pola pengembangan pertanian melalui program inti-plasma dapat diterapkan, dengan melibatkan koperasi dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), untuk mengembangkan tanaman-tanaman turi, kaliandra dan lamtorogung. “Kita harus berusaha menumbuhkan ekonomi kerakyatan tanaman energi,” ucap Bobby.
“Biomassa secara karakteristik berbeda dengan sumber EBT lain seperti surya, angin, dan air. Pemanfaatan biomassa membutuhkan manajemen supply chain yang terarah, terukur dan sistematis. Oleh karenanya, diperlukan sinergi dan koordinasi dari berbagai pihak untuk dapat menyusun strategi percepatan pengembangan biomassa sebagaimana target yang telah ditetapkan. Dalam konteks ini, peran petani menjadi sangat penting,” tambahnya.
Bobby juga menekankan pentingnya regulasi yang mengatur secara tegas tentang pemanfaatan biomassa. Belum lama ini, Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI) merilis bahwa pencapaian pasokan biomassa untuk pembangkit listrik PLN tahun 2022 hanya menyentuh angka 600.000 ton. Angka tersebut masih sangat jauh dari target suplai sebanyak 10,2 juta ton pada 2025.
Menurut Bobby, tampaknya agak mencemaskan belum adanya ‘jaminan’ pasokan jangka panjang biomassa untuk kebutuhan co-firing PLTU di dalam negeri. Belum lama ini, PLN sebagai operator PLTU yang tengah giat dengan program co-firing, menilai bahwa suplai biomassa sebagai campuran bahan bakar PLTU batu bara, belum optimal, seiring dengan ketersediaan biomassa yang masih terbatas. “Pasokan biomassa sejauh ini memang masih berasal dari produk sampingan,” kata dia.
Bobby pun menegaskan, harga biomassa untuk pembangkit listrik dibatasi dengan harga patokan tertinggi (HPT) batu bara. “Ini merepotkan, karena produsen biomassa memilih untuk menjual produk mereka ke pasar ekspor. Solusinya adalah melengkapi regulasi bisnis terkait energi biomassa. Terutama, peraturan tentang co-firing, yang menyangkut harga beli biomassa yang Peraturan Menteri ESDM-nya bakal segera keluar,” ujarnya.